Sesal
Kedua
matanya berkaca-kaca. Jilbab putih pemberian ibunya ia pegangi dengan tangan
kanannya. Jilbab itu tampak kumal, terkotori tanah dan basah oleh air mata. Air
mata yang keluar dari sepasang bola matanya yang memancarkan kesedihan dari
jiwa yang tengah diamuk duka karena kehilangan ibu yang terkasih namun juga ibu
yang sangat dibenci. Tangisan yang tertumpah karena kesedihan, duka cita, dan
lara hati, sedangkan kemarahan dan penyesalan mengiringinya yang bercampur aduk
menjadi satu. Ia tak berdaya untuk menahan semua itu maka itulah air mata dan
tangisan Anita. Gundukan tanah di depannya masih basah, seakan-akan baru
dimandikan dengan air matanya. Tak ada siapa pun disini, kecuali anita dan
sahabatnya nurul.
Anita
adalah seorang gadis kecil yang berumur
duabelas tahun, di umurnya yang masih belia seharusnya ia masih bisa merasakan
keindahan dunia anak-anak namun ia dipaksa harus merasakan pahitnya hidup yang
ia jalani. Ia terlahir sebagai anak yang tidak diketahui siapa ayahnya karena
profesi ibunya seorang pelacur. Hal tersebut membuat anita sangat terpukul ia
dijauhi selalu dihina dicaci karena profesi ibunya sehingga anita sangat
tertekan dan membuatnya sangat membenci ibunya. Seringkali ia berfikir
bagaimana bisa ia lahir dari rahim seorang pelacur, tak ada satupun orang yang
ia benci melebihi ibunya sendiri.
Kisah
keburukan sang ibu harus anita tanggung sendiri. Anak yang hendak menapaki usia
remaja itu harus menanggung buruknya masa lalu ibunya. Dan kini, ia ditinggal mati
oleh ibunya tiba-tiba rasa penyesalan itu muncul saat ibuya telah tiada ia
teringat selama lima tahun terakhir tak sekalipun ia memanggil ibunya dengan
sebutan “Ibu” tak pernah ia memandang wajah ibunya, dan tak pernah sekalipun ia melontarkan senyuman
kepada ibunya. Kata-kata kepedihan, duka cita, kemarahan, kekecewaan, dan
penyesalan melimpah-ruah di kedalaman hatinya, tetapi tak sanggup ia lontarkan
melalui bibirnya yang pucat bergetar. Saat ini, baginya tuhan amatlah jahat,
tuhan sangat tega karena telah membuatnya merasa menyesal telah kehilangan ibunya, ia juga harus
menanggung beban keburukan dari almarhumah ibunya.
Waktu begitu cepat berlalu. Rasanya, baru kemarin anita masih mendengar sang ibu berkata lirih di hadapannya, “anita, tolong ambilkan ibu minum nak. Rasanya ibu haus sekali”
Anita tak menghiraukan ibunya, bahkan ia tak menatap ibunya sedikitpun sambil berkata “kau punya kaki dan tangan, kau juga sanggup melayani laki-laki yang datang kerumah ini, tapi untuk mengambil segelas minum kau tak mampu? Apa seluruh tubuhmu hanya untuk laki-laki?”
“ya Allah nak, mengapa kau tega mengatakan hal itu kepada ibu? Kau tau kata-kata mu itu sangat menyakitkan untuk ibu?”
“sakit? Kau bilang sakit? Aku yang lebih sakit karena aku yang harus menanggung malu karena kelakuanmu itu! aku dihina aku dijauhi bahkan tak satu orangpun mau berteman denganku karena aku anak seorang pelacur!”
“maafkan ibu nak, jika kau dipelakukan tidak adil. Bukan maksud ibu untuk ..”
“ sudahla aku malas berbicara denganmu!” anita beranjak pergi meninggalkan ibunya yang menangis tersedu-sedu.
Masih tergambar dibenaknya betapa kejam ia mengatakan hal sekasar itu kepada ibunya. Kini ia hanya bisa menyesali perbuatan yang ia lakukan kepada ibunya. Ia sangat marah seharusnya ia merasa bahagia atas kepergian ibunya namun hal tersebut tidak terjadi kini hanya ada penyesalan, kekecewaan, dan keputusasaan.
Angin senja berhembus lirih dari balik pepohonan dan menebarkan aroma kenanga, kamboja di atas nisan-nisan kuburan. Anita mengusap air matanya lagi. Aroma kenanga dan kamboja terhirup masuk dari hidungnya. Ia masih pandangi gundukan tanah itu seakan-akan masih tak percaya bahwa sang ibu baru saja meninggalkannya untuk selama-lamanya. Batinnya bertanya-tanya
Mengapa harus terjadi?
Mengapa ibu harus meninggalkanku?
Mengapa baru sekarang aku menyesal?
Mengapa harus ibu yang menjadi seorang pelacur?
Waktu begitu cepat berlalu. Rasanya, baru kemarin anita masih mendengar sang ibu berkata lirih di hadapannya, “anita, tolong ambilkan ibu minum nak. Rasanya ibu haus sekali”
Anita tak menghiraukan ibunya, bahkan ia tak menatap ibunya sedikitpun sambil berkata “kau punya kaki dan tangan, kau juga sanggup melayani laki-laki yang datang kerumah ini, tapi untuk mengambil segelas minum kau tak mampu? Apa seluruh tubuhmu hanya untuk laki-laki?”
“ya Allah nak, mengapa kau tega mengatakan hal itu kepada ibu? Kau tau kata-kata mu itu sangat menyakitkan untuk ibu?”
“sakit? Kau bilang sakit? Aku yang lebih sakit karena aku yang harus menanggung malu karena kelakuanmu itu! aku dihina aku dijauhi bahkan tak satu orangpun mau berteman denganku karena aku anak seorang pelacur!”
“maafkan ibu nak, jika kau dipelakukan tidak adil. Bukan maksud ibu untuk ..”
“ sudahla aku malas berbicara denganmu!” anita beranjak pergi meninggalkan ibunya yang menangis tersedu-sedu.
Masih tergambar dibenaknya betapa kejam ia mengatakan hal sekasar itu kepada ibunya. Kini ia hanya bisa menyesali perbuatan yang ia lakukan kepada ibunya. Ia sangat marah seharusnya ia merasa bahagia atas kepergian ibunya namun hal tersebut tidak terjadi kini hanya ada penyesalan, kekecewaan, dan keputusasaan.
Angin senja berhembus lirih dari balik pepohonan dan menebarkan aroma kenanga, kamboja di atas nisan-nisan kuburan. Anita mengusap air matanya lagi. Aroma kenanga dan kamboja terhirup masuk dari hidungnya. Ia masih pandangi gundukan tanah itu seakan-akan masih tak percaya bahwa sang ibu baru saja meninggalkannya untuk selama-lamanya. Batinnya bertanya-tanya
Mengapa harus terjadi?
Mengapa ibu harus meninggalkanku?
Mengapa baru sekarang aku menyesal?
Mengapa harus ibu yang menjadi seorang pelacur?
Bibirnya
yang mungil tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan hatinya. Tiba-tiba
terngiang-ngiang jelas dibenaknya bagaimana orang-orang sering munggunjing
ibunya: sarmina itu tak pantas hidup di desa ini, sarmina itu perempuan kotor,
ia memberi anaknya uang haram, anaknya tidak jelas siapa ayahnya dan
sebagainya. Semua itu dikatakan oleh orang-orang tentang ibunya. Hatinya sakit,
hatinya tak terima. Perih. Sangat perih. Tetapi, ia tak bisa berbuat apa-apa.
Ia tidak bisa melakukan apapun untuk membela ibunya.
Angin
semakin kencang berhembus.
Sekian
lama, Anita masih duduk di samping kuburan ibunya. Sahabatnya Nurul
mendekatinya. Ia menepuk-nepuk punggung Anita. Ia berusaha terus menenangkan
hati Anita.
“Sabarlah,
Nit,” ucap nurul. “Aku tak akan membiarkanmu hidup sendiri, aku sekarang bukan
sekedar sahabatmu melainkan saudaramu sendiri!”
Anita
memeluk Nurul. Ia tak bisa berucap sepatah kata pun. Ia tak pula mengangguk.
Tak pula menggeleng.
“Sabarlah,
Anita,” Nurul mengulangi ucapannya kembali. “Mari kita pulang hari sudah mulai
gelap, jika mau kau boleh tidur dirumahku malam ini?”
“Tidak,
terimakasih aku akan tidur dirumah ku sendiri!”
“Tapi
kau sendirian nit, aku pasti mengkhawatirkanmu?”
“Tidak,
nurul. Aku tidak ingin meninggalkan rumah ibuku sendirian!”
“Baiklah,
jika itu keputusanmu aku yang akan tidur dirumahmu. Aku akan menemanimu”.
“Tapi
rul?”
“Tidak
Anita, kini kau saudaraku aku tidak akan membiarkanmu sendirian, aku akan
menemanimu!”
“Apa
kau tidak malu jika bersamaku?”
“Tidak
Anita, aku tidak malu aku ikhlas. Kau sahabatku. Kau saudaraku!”
Anita
merangkul kuat-kuat tubuh Nurul, keduanya pun menangis tersedu-sedu.
Anita
pergi meninggalkan tempat peristirahatan ibunya, dengan rasa penyesalan, dan
kekecewaan ia bertekat ia akan bertaubat atas apa yang telah ia lakukan pada
ibunya, ia akan berubah. Di dalam hati Anita berkata,
Iya, jangan dengarkan.
Jangan dengarkan setiap hujatan dan hinaan
dari siapapun. Sebaliknya, buktikan Anita bahwa engkau anak yang baik.
Engkau anak yang pintar. Engkau bisa. Tak ada yang dapat menhalangimu untuk menjadi
anak yang baik, yang taat, yang shalihah seperti harapan ibumu. Jadilah wanita
yang hebat. Agar hidup dapat ditaklukkan.