Telah 2 tahun lamanya kami menikah,
namun belum ada tanda-tanda Sang Pencipta menitipkan benih di rahimku. Aku
benar-benar serba salah. Tiap kali mendengar berita seseorang hamil atau
melahirkan, entah kerabat, entah selebriti, Ibu mertua selalu membahas masalah
tersebut dan menyindir-nyindir aku yang belum juga memberinya keturunan. Aku dan
Suami telah sama-sama memeriksakan diri ke dokter,dan hasilnya kami berdua
baik-baik saja.
Suamiku anak pertama dari 3 bersaudara yang kesemuanya laki-laki. Sebagai anak
tertua, wajarlah bila Ibu mertuaku begitu mengharapkan kehadiran cucu dari
garis keturunan Suamiku sebagai penerus klan keluarga.
Yang membuat aku sangat sedih adalah Ibu mertua sering menyarankan agar Suamiku
menikah lagi, bila aku memang tidak jua dapat memberinya keturunan. Aku tahu,
walau dengan nada bercanda, sesungguhnya Ibu mertua serius, beliau benar-benar
ingin menggantikan aku dengan wanita lain sebagai pendamping Suamiku.
Hubunganku dengan Ibu mertua memang kurang harmonis. Aku, bukanlah wanita yang
diinginkan untuk menjadi menantunya. Aku bisa memahami ketidak setujuannya,
karena di lihat dari sisi manapun, aku tidak sebanding dengan anaknya.
Suamiku berasal dari keluarga berada, terpandang dan berpendidikan. Sedangkan
aku? Ayahku hanyalah seorang buruh di pabrik. Kalaupun aku dapat kuliah, itupun
karena aku mendapat beasiswa dan akhirnya dapat bekerja di tempat yang cukup
lumayan.
Akupun pernah ragu untuk menerima pinangannya. Aku merasa kami tidak
‘sederajat’. Aku takut keluarga besarnya tidak bisa menerima kehadiranku.
Tetapi, Suamiku -calon Suami pada waktu itu- meyakinkanku bahwa keluarganya
tidak mungkin bersikap seperti itu.
Akupun menerima pinangannya setelah berhari-hari tenggelam dalam sujud panjang
di sepertiga malam. Ku pajatkan do’a sepenuh pengharapan agar Allah menunjukkan
jalan yang terbaik bagiku. Akupun bermimpi melihatnya di rumahku sedang
bercengkrama dengan kedua orangtuaku. Aku menganggap mimpi itu sebagai jawaban atas
doa-doaku. Dan akhirnya kamipun menikah.
Setelah menikah, aku memang masih tinggal dengan Ibu mertua. Dua tahun, seatap
dengan Ibu mertua, aku bisa merasakan ketidaksukaannya terhadapku. Ada saja
yang salah denganku di matanya, sehingga aku sering menerima sidiran ataupun
kemarahan-kemarahannya. Hal-hal kecil, yang aku rasa bukan masalah, ternyata
menjadi masalah besar baginya.
Aku benar-benar pusing menghadapinya. Aku menghormatinya sebagai Ibu dari orang
yang sangat aku cintai. Akupun berusaha sekuat hati untuk menyenangkannya,
berharap aku dapat memenangkan hatinya. Tetapi, usahaku sia-sia. Ia tidak
pernah menganggapku sebagai menantu. Aku hanyalah wanita asing yang menumpang
tinggal di rumahnya. Jika Ia hendak pergi, baik untuk silaturahmi maupun untuk
keperluan lain, Ia jarang sekali mengajak aku turut serta.
Suatu ketika, kerabat jauh datang, Suamiku tidak ada di rumah ketika itu.
Akupun bergegas ke dapur membuatkan minuman. Ketika minuman ku suguhkan, Ibu
mertua tidak memperkenalkan aku dengan kerabat tersebut sebagai menantunya.
Akh, aku memang tidak pernah dianggap sebagai bagian dari keluarga ini, kecuali
oleh Suamiku.
Hampir tiap malam aku menangis. Aku sedih dengan sikap Ibu mertua terhadapku.
Tidak tahan dengan apa yang aku rasakan, akupun mengajak Suami untuk bicara
serius. Kugenggam kedua tangannya erat, ku letakkan di dadaku.
“Maafkan aku, seandainya aku tidak dapat menjadi seperti yang kau harapkan.”
“Kok, tiba-tiba bicara seperti itu, ada apa Sayang?” Tanya Suamiku lembut
seraya melepaskan tanggannya dari genggamanku, dan menatapku heran.
Ku hela nafas dalam-dalam. “Aku sudah berfikir masak-masak. Aku mencintaimu.
Sangat bahkan. Tiada yang lebih memberiku ketentraman selain melihatmu
bahagia.”
“Aku bahagia bersamamu.” Jawabmu segera, memotong pembicaraanku.
“Akupun bahagia bersamamu. Tapi, bukan itu yang hendak aku bicarakan. Kau
pernah mengatakan bahwa demi bakti seorang anak terhadap ibunya, maka akan
lebih baik jika anak tersebut menikah dengan seorang wanita yang tidak ia cintai
demi keridhoan ibunya, karena harganya adalah surga. Daripada menikah dengan
wanita yang ia cintai tetapi membuat ibunya murka, dan itu berarti neraka.”
“Aku ingat, tapi, apa hubungannnya dengan semua ini?” Tanya suamiku heran.
“Hmm…ini tentang Ibu. Kau tahu bagaimana sikapnya terhadapku. Aku ingin
melihatnya bahagia. Sekian lama bersamanya, aku menyadari, aku bukanlah wanita
yang ia harapkan untuk menjadi istrimu. Ia tidak benar-benar merestui
pernikahan kita.”
“Jangan bicara seperti itu! Ibu menyayangimu, Ia hanya agak keras dan terlalu
angkuh untuk memperlihatkan cintanya terhadapmu.”
“Dari sikap dan kata-katanya, aku tahu Ibu tidak suka kepadaku. Aku bisa
merasakannya. Aku tahu, ia kecewa aku menjadi istrimu. Demi kebahagiannya, dan
demi ketentraman batinmu, carilah wanita lain yang lebih layak untuk bersanding
denganmu. Wanita yang pasti direstui ibumu. Lagipula, hingga saat ini, aku
belum bisa memberimu keturunan.” Jawabku sambil terisak.
“Aku tidak mungkin mencintai wanita lain. Aku hanya punya satu hati. Untukmu.
Don’t give up like this. I thought you love me so much.” Dan dipeluknya aku
erat-erat. Aku semakin dalam menangis.
“Bersabarlah, pasti ada jalan keluar yang terbaik untuk kita semua. Lambat
laun, hati Ibu pasti akan melunak. Ia wanita yang sangat baik dan berpikiran
terbuka. Jika tidak, ia tidak mungkin membiarkan aku menikahimu. Lihat saja
nanti. Mudah-mudahan Allah segera memberi kita keturunan. Mungkin itu akan
menjawab semuanya.” Hibur suamiku.
Hatiku merasa lega, walau masih tertinggal sedikit rasa tidak nyaman.
*****
Setelah pembicaraan malam itu, Suamiku menjadi lebih romantis. Itu menghiburku
tentu saja. Dan Ia pun jarang pulang larut malan lagi. Sesuatu yang sebelumnya
jarang Ia lakukan. Ia sering mengajakku keluar untuk sekedar makan malam
berdua. Ia benar-benar ingin memanjakan hatiku.
Hal itu, membuat Ibu mertua marah kepadaku. Dinasehatinya aku agar tidak
foya-foya, hidup lebih hemat dan lain sebagainya. Mungkin Ibu cemburu,
entahlah.
Perhatian Suamiku yang semakin besar menambah ketidaksukaan Ibu terhadapku.
Suatu hari, aku merasa benar-benar kurang sehat, dan memutuskan untuk lebih
banyak berada di dalam kamar untuk beristirahat. Akupun cuti dari tempatku
bekerja. Entah apa yang sedang ada dalam pikiran Ibu, tiba-tiba ia memarahiku
dan menyebutku sebagai menantu yang tidak sopan, tidak tahu diri, sudah
menumpang, tapi malas-malasan.
Masya Allah, padahal, sekiranya aku sedang sehat, usai shalat tahajjud, aku
tidak pernah tidur lagi. Ku lakukan ritual harianku, mecuci baju, menyiapkan
sarapan, membereskan apa saja yang bisa kubereskan sebelum berangkat bekerja.
Aku tidak pernah membiarkan pembantu di rumah Ibu mencuci pakaianku dan pakaian
suamiku.
Kulakukan semua sendiri. Sehabis gajian, akupun tidak pernah lupa untuk segera
berbelanja segala kebutuhan di rumah itu. Entahlah, kebencian terpendam yang Ia
rasakan terhadapku mungin tidak dapat ditahannya lagi. Ya Allah, Sang Pemilik
hati, lembutkan hatinya agar dapat menerimaku.
*****
Menjalani hari-hari seatap dengan Ibu mertua sekian lama, belum juga
menghilangkan kekikukanku. Ritual makan bersama di satu meja, tetap membuat aku
salah tingkah tidak karuan. Suatu malam, di hari ulang tahun Ibu, Ibu
merencanakan makan bersama. Ibu memasak hidangan istimewa untuk mentasyakuri
nikmat sehat yang telah Allah limpahkan kepadanya.
Semua keluarga inti berkumpul. Ibupun mengeluarkan perlengkapan makan yang
tidak biasa kami pakai sehari-hari. Tanpa sengaja, ketika hendak menyusun
piring-piring tersebut di meja makan, aku terpeleset sehingga pecahlah semua
piring-piring yang ku bawa. Ibu marah sekali, dituduhnya aku sengaja merusak
kebahagiannya.
Aku dimarahi seperti layaknya anak kecil yang nakal. Hatiku sakit sekali,
terlebih Ibu melakukannya di hadapan orang lain. Selama ini, kendati sering
marah terhadapku, jarang ada yang tahu. Biasanya ibu baik-baik saja ketika ada
orang lain diantara kami.
Alhamdulillah, ternyata insiden tersebut memberi berkah tersendiri. Suamiku
memutuskan untuk membeli sebuah rumah. Aku bahagia sekali. Sesuatu yang telah
lama aku inginkan, tetapi tidak berani aku utarakan. Bukan, bukan karena aku
tidak ingin melayani ibu. Hanya saja, aku merasa perlu berjarak dengannya,
mungkin ini akan memperbaiki hubungan kami. Selain itu, dokter memang menyarankan
agar aku lebih rileks, tidak terlalu lelah dan tidak banyak pikiran.
Empat bulan setelah menempati rumah tersebut, akupun hamil. Lengkaplah sudah
kebahagiaanku. Aku pikir, kabar kehamilanku akan membahagiakan dan mengubah
perasaan Ibu mertua terhadapku.
Ternyata aku salah. Kehamilanku justru membuatnya lebih membenciku. Jika
kehamilanku tidak jua meluruhkan hatinya, aku tidak tahu lagi dengan cara apa
aku merebut hatinya. Sungguh di dalam hati kecilku, aku sangat mencintainya.
Bagaimana aku tidak mencintai orang yang dicintai suamiku? Akupun tidak ingin
melukai hatinya, tapi apa yang bisa kulakukan lagi? Aku tidak pernah
membantahnya, aku terima segala perlakuannya.
*****
Kini aku telah dikaruniai 2 orang putra. Aku merasa lebih bahagia karena memiliki
2 malaikat kecil yang senantiasa menyemarakkan hari-hariku. Akupun berhenti
bekerja full time dan memutuskan bekerja paruh waktu sehingga aku tetap bisa
mengurus anak-anak dan keluarga. Hubunganku dengan Ibu mertua tetap dingin. Dua
orang cucu yang sudah kupersembahkan kepadanya tidak merubah perasaannya
terhadapku. Ia mencintai anak-anakku.
Tentu saja, mereka darah dagingnya. Dan kamipun tetap saling mengunjungi.
Terkadang Ibu mertua datang sekedar menjemput anak-anak untuk diajaknya pergi.
Ia sungguh memanjakan anak-anak.
Suatu hari ketika libur sekolah, Suami meminta izin untuk membawa anak-anak
pergi berlibur bersama Ibu mertua. Aku tidak diajaknya turut serta. Aku tahu
diri, mungkin Ibu tidak ingin moodnya untuk berlibur rusak karena keberadaanku.
Mulanya anak-anak menolak, mereka ingin aku turut serta.
Akupun membujuk, bahwa aku benar-benar tidak bisa ikut karena banyak pekerjaan
yang harus ku lakukan. Merekapun mengerti. Tetapi, entah kenapa, perasaanku
tidak tenang melepas kepergian mereka. Ingin rasanya mencegah, tapi aku tidak
ingin membuat masalah. Akupun hanya bisa berdoa, semoga semua baik-baik saja.
Mereka pulang keesokkan hari. Aku bersyukur, tidak terjadi apa-apa. Aku yang
melihat mereka kelelahan tidak berani bertanya macam-macam. Ku lihat mereka
membawa begitu banyak oleh-oleh. Dari mulai pakaian, tas dan mainan. Aku cukup
heran, oleh-oleh sebanyak ini? Tidak mungkin Ibu atau Suamiku yang
membelikannya. Aku tahu, mereka cukup bijak dalam hal pengeluaran.
Sambil membongkar tas yang berisi oleh-oleh, mulailah anak-anakku berkicau
tentang pengalaman berlibur mereka. Mereka bercerita tentang Tante Lia yang
sangat baik. Tante Lia lah yang telah membelikan mereka oleh-oleh sebanyak itu.
Tante Lia? Suamiku tidak mengatakan ada orang lain yang turut serta dalam
liburan kemarin? Tiba-tiba hatiku bergemuruh tidak menentu.
Setelah puas berceloteh, akupun menyuruh anak-anak untuk beristirahat. Aku
masuk ke dalam kamar. Ku lihat suamiku melepaskan penat di tempat tidur. Aku
tidak dapat menahan gejolak batinku yang tidak karuan.
Aku ingin bertanya kepadanya siapa Tante Lia itu? Kenapa ia tidak mengatakan
dari awal? Apa yang ia sembunyikan? Aku berusaha merangkai kata-kata agar
pertanyaanku terdengar biasa dan normal.
“Bagaimana liburannya, Yah?” tanyaku hati-hati.
“Liburan? Biasa saja. Senang saja melihat anak-anak bahagia.”
“Tumben, Ayah membelikan begitu banyak oleh-oleh untuk anak-anak.” Ucapku.
“Oo, itu, bukan Ayah yang beli, tapi Lia.” Jawab suamiku terdengar kikuk.
“Lia? Memang kemarin Ayah berlibur bukan hanya berempat saja?” Tanyaku
menyelidik.
“Ibu memang mengajak berlibur bersama karena ada kerabat jauh yang datang ke
Jakarta, ya Lia itu.”Jawab suamiku lagi.
“Kenapa Ayah yang diajak menemani? Khan masih ada yang lain.”
“Ayah juga tidak tahu. Tapi Ibu yang mengajak. Tidak enak menolak. Nanti Ibu
tersinggung. Sudahlah, jangan curiga, Ayah tidak melakukan apa-apa.”
“Bunda tidak curiga, Bunda hanya heran.”
“Heran apa cemburu?” Tanya suamiku.
“Kalau Bunda cemburu, apa salah?” Kataku balik bertanya.
Suamiku tidak menjawab, Ia bangkit dari tempat tidur, menghampiriku dan
berbisik di telingaku, “Ya, Bunda salah… kalau tidak cemburu.”
Dikecupnya pipiku,”I love you and always will.”
Suamiku memang paling tahu caranya membungkam mulutku.
*****
Aku mengira Ibu mertuaku sudah bisa menerima aku apa adanya, dan membiarkan
kami hidup dalam damai. Hingga, suatu hari Suamiku tergolek sakit dan harus di
rawat di Rumah Sakit karena thypus. Tidak ada yang mengurus anak-anak, sehingga
aku tidak dapat sepanjang hari berada di Rumah Sakit. Karenanya Ibu mertua
lebih banyak mendampingi Suami. Aku sangat bersyukur dan merasa lebih tenang
karena Suami ada yang menemani.
Tetapi, ketenanganku terkoyak, karena suatu siang ketika aku datang ke Rumah
Sakit, ku lihat seorang wanita cantik berada di kamar tempat Suamiku dirawat,
bersama Ibu mertua. Aku masuk dengan perasaan masgul. Ku hampiri Ibu mertua
yang sedang duduk di sofa, ku cium tangannya, dan ku salami wanita tersebut.
“Ratna, kenalkan, ini Lia.” Kata ibu Mertua memperkenalkan wanita cantik itu.
Ya Tuhan, rupanya inilah wanita yang ketika itu pergi berlibur bersama suami
dan anak-anakku.
“Dia sengaja datang dari jauh untuk menjenguk Irwan. Kau tidak perlu
repot-repot ke rumah sakit, kau urus saja anak-anakmu, biar Ibu dan Lia yang
mengurus Irwan di Rumah Sakit.” Lanjut Ibu mertua.
“Tidak mengapa Bu, saya tidak merasa repot. Memang sudah kewajiban istri
mengurus suaminya.” Jawabku.
Bagaimana mungkin, aku membiarkan wanita lain mengurus suamiku. Hatiku berkata.
“Sudahlah, tidak usah melawan. Dibantu, bukannya berterimakasih.” Jawab Ibu
mertuaku sewot.
Kemudian Lia angkat bicara,”Tenang Bu, jangan terlalu keras suaranya, nanti Kak
Irwan bangun, kasihan diakan perlu ketenangan.” Diambilnya tangan ibu dan
diusap-usapnya dengan lembut, Ibupun tidak menolak. Duh, sungguh, aku cemburu
melihat adegan itu. Akupun ingin bisa mengusap tanganmu, memelukmu, Ibu.
Tak ingin larut dalam kesedihan, akupun beranjak menuju ke tempat tidur tempat
suamiku terbaring. Suamiku…tahukah kau apa yang bergejolak dalam batinku?
*****
Alhamdulillah, suamiku tidak perlu berlama-lama di Rumah Sakit. Tapi, Ia masih
harus beristirahat di rumah. Yang membuatku terganggu adalah, selama Suamiku
beristirahat di rumah, Ibu mertua tiap hari datang ke rumah. Jika Ia datang
sendiri, tidaklah mengapa. Tapi Ia datang bersama wanita itu.
Dan mereka bersikap seolah-olah rumah tempat kami tinggal, seperti rumah mereka
sendiri. Ku lihat Ibu Mertua bersama Lia tidak sungkan-sungkan bolak-balik
masuk ke kamar pribadi kami. Aku sungguh terluka. Jika Ibu datang dan hendak
tidur di kamar kami sekalipun, aku tidak berkeberatan. Tapi, melihat wanita
lain masuk ke kamar kami? Aku benar-benat tidak bisa menerima. Aku merasa tidak
dihargai. Tapi, apa yang bisa kulakukan?
Anak-anakpun terlihat senang melihat Lia datang. Mereka memanggilnya Tante. Dan
Liapun terlihat menikmati keadaan. Dihadiahinya anak-anakku setiap hari dengan
segala macam makanan dan mainan. Aku ingin melarang, tapi aku tidak ingin ribut
dengan Ibu Mertuaku.
Aku hanya berdoa sungguh-sungguh, agar Allah memulihkan kesehatan Suamiku
segera. Aku tidak tahan berlama-lama dalam kondisi ini.
Seminggu lamanya, mereka bolak-balik ke rumah kami. Lia wanita yang cantik,
cerdas, lembut dan menyenangkan sebenarnya. Aku rasa, setiap laki-laki yang
berhubungan dengannya tidak kuasa untuk tidak jatuh hati kepadanya. Tetapi, di
umurnya yang sudah tidak remaja lagi, kenapa Ia belum juga menikah? Aku yakin,
pasti sudah banyak laki-laki yang datang menawarkan diri untuk jadi pendamping
hidupnya. Siapa yang ditunggunya? Suamikukah?
Dalam sebuah kesempatan ketika ia berkunjung, Lia bercerita, Ia dan Suamiku
melewati masa kanak-kanak bersama. Sesuatu yang tidak pernah diceritakan
Suamiku. Aku hanya tahu, Lia adalah kerabat jauh dari garis Ibu mertua. Aku
tidak pernah tahu selain kerabat, merekapun dulunya bertetangga.
Aku tidak pernah tahu meraka sedemikian akrab di masa kecil. Ia menyebut
Suamiku sebagai “A man every women wanted”. Lia mengatakan bahwa aku adalah
wanita yang beruntung, setiap wanita yang mengenal Suamimu, pasti ingin
bertukar tempat denganmu.
Kata-kata yang membuat aku merinding dan bergelut dengan rasa takut. Apa maksud
Lia berkata seperti itu? Jangan-jangan,Ia berniat merebut Suamiku. Aku terus
beristighfar dan memohon agar Allah menjaga dan melindungi bahtera rumah tangga
kami dari segala cobaan dan godaan.
*****
Suatu malam ketika bercengkrama di ruang keluarga. Kuberanikan diri untuk
bertanya, “Ayah, kok Ayah tidak pernah bercerita tentang Lia?” Tanyaku
hati-hati.
“Tentang Lia? Memang tidak ada yang harus Ayah ceritakan. Kenapa Bunda?”Suamiku
balik bertanya.
“Lia bercerita, bahwa Ayah dan Lia melewati masa kanak-kanak bersama.” Lanjutku.
“Ia benar. Tapi, apa istimewanya? Dan apa pentingnya Ayah ceritakan hal
tersebut kepada Bunda?” Tanyanya lagi.
Akh…laki-laki. Betapa tidak pekanya. Apakah Ia tidak bisa merasakan bahwa Lia
menaruh perhatian yang besar terhadapnya. Apa Ia tidak bisa melihat tatapan
cinta dari matanya yang tidak dapat ia sembunyikan. Dan apa Ia tidak bisa
merasakan kecemburuan, kegelisahan dan ketakutanku?
“Apa Ayah tidak merasakan kalau Lia menaruh perhatian yang besar terhadap
Ayah?” Tanyaku lebih dalam.
Suamiku tidak menjawab. Dipandanginya aku lekat-lekat. Sebuah pandangan yang
membuatku salah tingkah. “Bunda, if you are worry, let me tell you, you’ll
always be the only one I ever wanted. There will never be another to replace
you. Till deaths do us a part, I will always love you.”
Hmm.. Maafkan aku, aku hanya begitu takut kehilanganmu.
*****
Hubunganku dengan Ibu mertuapun membaik, akhirnya. Ini adalah saat-saat yang
kunanti. Aku jadi optimis rumah tanggaku akan baik-baik saja. Walau tidak
terlalu sering, kami saling mengunjungi. Pagi ini Ibu mertua berkunjung. Ia
meminta agar Suamiku diperbolehkan menemaninya mengunjungi kerabat-kerabatnya
di sebrang. Rencananya mereka akan berada di sana selama 1 minggu.
Aku tidak berkebaratan. Bagaimanapun Suamiku adalah anaknya. Lagipula, kapan
lagi dan dengan cara apa aku bisa menyenangkan hati Ibu, kecuali dengan
meluluskan segala keinginannya.
Suamiku pun berangkat, di Minggu sore. Dan rencanannya akan kembali, pada hari
Senin di minggu berikutnya. Betapa waktu berjalan demikian lamban.
Menanti-nanti Suamiku kembali sungguh menyiksa batinku. Tidak biasanya Ia pergi
tanpa mengirim kabar.
Setiap kali aku telpon, selalu terdengar kata-kata, nomor yang anda hubungi
berada di luar jangkauan area, dan Iapun tidak berusaha menelpon ku. Apa yang
terjadi? Tidakkah Ia kangen anak-anak? Tidakkah Ia ingin tahu kabar mereka? Ia
hanya memberi kabar di hari pertama. Mengatakan Ia baik-baik saja dan telah
tiba dengan selamat. Setelahnya, aku tidak lagi mendengar kabarnya.
Bip…bip…bip…hp ku berbunyi, ada sms. Alhamdulillah, dari Mas Irwan.
“Assalamu’alaikum. Bunda, Ayah sudah sampai di bandara, Ayah mengantar ibu
dahulu, baru pulang. Miss you.’’ Begitu tulisan di layar Hp-ku.
Aku senang sekali. Kusiapkan makan malam untuk Suami tercinta dan ku persiapkan
diri untuk menyambutnya. Ketika sampai di rumah, tanpa berkata apa-apa, Suamiku
langsung masuk kamar. Kubereskan seluruh bawaannya dan tak lama kemudian aku
susul Ia ke kamar.
Ketika aku membuka pintu, kudengar dengkuran halusnya. Aku kecewa, seminggu
tidak bertemu, tidakkah Ia ingin tahu kabarku? Kubesarkan hatiku, ah…mungkin Ia
sangat lelah. Akupun urung masuk ke kamar.
Aku tadi hanya membereskan sekedarnya barang-barang bawaan suamiku, aku belum
membongkar isi kopernya. Daripada iseng, ku buka koper Suamiku. Ku lihat
beberapa helai pakaian yang memang Ia bawa dari rumah. Mataku tertuju kepada
sebuah bingkisan yang telah dibuka. Isinya sebuah kemeja berwarna biru– warna
kesukaan suamiku- bergaris-garis kecil vertical. Di dalamnya ada sebuah kartu
ucapan.
Dear Irwan,
Thank you for coming. Thank you for the joy you bring into my life. I feel more
a live. Some things, after all, have never changed. My love for you. You’ve
been my dream. I’ll be right here waiting for you.
Lia
Mataku terasa panas. Dadaku terasa sesak. Jadi? Suamiku pergi menemui Lia?
Kenapa tidak Ia buang kartu ucapan ini? Apakah Ia sengaja, agar aku membacanya?
Ku habiskan malam itu dengan tangis yang tidak juga berhenti mengalir. Mereka
menghianatiku. Teganya suamiku. How come?
*****
Keesokkan pagi, aku bangun dengan mata yang sembab. Usai shalat shubuh,
kubuatkan sarapan untuk kedua buah hatiku dan membereskan bekal untuk di bawa
mereka ke sekolah. Kali ini, Suamiku tidak sarapan bersama anak-anak seperti
biasa. Ia hanya keluar dari kamar di pagi hari, memberi pelukan sayang dan
melepas rasa kangen kepada buah cinta kami dan kembali masuk kamar.
Pukul 06.00 wib merekapun berangkat ke sekolah dengan mobil jemputan. Pagi ini,
Suamiku terlihat masih ingin berleha-leha. Entahlah, Ia akan berangkat kerja
atau menambah cuti sehari untuk beristirahat.
Aku sudah tidak tahan ingin membicarakan perihal kepergiannya dan kartu ucapan
dari Lia. Aku sibuk menata perasaanku yang campur aduk. Aku mondar-mandir tidak
karuan. Dari ruang tamu, ke dapur, ke ruang tamu lagi, ke dapur lagi. Aduuuh…
pikiranku kacau. Akupun memutuskan menuju ruang keluarga. Aku duduk di sofa,
tapi aku tidak merasa tenang. Ku coba membaca sebuah majalah, tapi pandanganku
kosong, entah apa yang ku baca.
Tidak berapa lama, kucium aroma tubuh dari seseorang yang kurindukan dan
kubenci disaat yang bersamaan. Kurasakan usapan lembut di pundakku, dan
mendaratlah sebuah kecupan hangat di pipiku. Aku tidak bergeming. Tiba-tiba aku
merasa demikian marah terhadapnya. Mas Irwan duduk di sampingku.
“Hmm…Ayah kangen banget nih sama Bunda.” Katanya mesra.
“How could you acting like nothing happens? I was worried and you’re not even
bothered to call me. Are you so busy with that woman and forget that you have
family here? Why you betrayed me?” Cerocosku dengan emosi.
“Bunda lagi ngomongin apa sih?” Tanya suamiku bingung.
“Sudahlah! Ayah nggak usah pura-pura. Bunda sudah baca kartu ucapan dari Lia.
Dan kenapa Ayah tidak terus terang, bahwa kerabat yang mau Ayah dan Ibu datangi
itu Lia? Dan kenapa juga Ayah tidak menelpon Bunda selama di sana.” Jawabku
masih dengan suara yang agak tinggi.
“I see…I can explain…kalau Ayah bilang terus terang mau mengunjungi Lia, Ayah
takut Bunda tidak tenang dan berfikir macam-macam. Ini kunjungan balasan. Lia
sedang sakit. Bukankah Lia datang mengunjungi Ayah ketika Ayah sakit? Ini juga
permintaan Ibu.
Maafkan Ayah jika hal ini melukai hati Bunda. Mengenai kartu ucapan itu, Ayah
tidak bisa menolak Lia memberikan itu kepada Ayah. Jikapun Lia memiliki
perasaan khusus terhadap Ayah, tidak berarti Ayah memiliki perasaan khusus
terhadapnya khan?” Jelasnya panjang lebar. Direngkuhnya bahuku.
“Apa Bunda masih meragukan cinta Ayah? Bunda tidak yakin akan kesetiaan Ayah?
Did you remember, on our wedding day, I did promise you that I’ll faithful to
you, I will love you and only you as long I life. Till deaths do us apart? I
meant it. ” Ucap Suamiku meyakinkan.
Hatiku perlahan-lahan mencair. Tapi aku tetap memasang wajah cemberut. Masih
belum bisa menerima penjelasannya. “Bunda masih mau ngambek terus? Yakin? Udah
seminggu loh kita nggak ketemu? Nggak nyesel nih?” Goda suamiku.
Ah…Suamiku. Aku percaya padamu, tapi aku tidak percaya pada perempuan itu.
Selain itu, Ia mendapat dukungan penuh dari Ibumu. Mungkin kau tidak tergoda
dengan rayuan Lia, tapi, apa kau mampu bertahan dengan rayuan Ibu?
*****
Mungkin, kekhawatiranku tidak beralasan. Ternyata, hati Ibu melunak. Akh,
senangnya. Ibu sekarang sering mengajak aku dan anak-anak makan bersama. Bahkan
kami pernah pergi berdua membeli baju untuk anak-anak dan Mas Irwan. Ibu juga
membelikan aku sebuah baju. Sebuah baju yang indah. Ibu sendiri yang
memilihkannya untukku. Mulanya aku menolak.
“Ibu, baju ini terlalu bagus. Dan harganya mahal sekali. Ratna tidak ada
rencana menghadiri perayaan apa-apa dalam waktu dekat.” Kataku, merasa tidak
enak.
“Tidak apa-apa, mungkin suatu saat kau akan memerlukannya. Simpan saja dulu.”
Jawab ibu.
“Terimakasih, Bu.” Ucapku, tulus.
Yang membuat aku terkejut, Ibu juga membelikan aku gelang dan cincin emas. Aku
bersyukur Ibu sudah berubah. Mungkin, Ia ingin membayar rasa bersalahnya
kepadaku dengan membelikan aku barang-barang mewah ini. Akh, Ibu, perubahan
sikapmu sudah cukup bagiku. Aku tidak memerlukan semua ini sebenarnya.
*****
Sekali lagi Ibu meminta izin mengajak Mas Irwan pergi beberapa hari. Lagi-lagi
untuk mengunjungi kerabat Ibu di sebrang sana. Aku merasa tidak enak jika tidak
memberi izin. Selama ini, Ibu sudah berubah. Tapi, bagaimana seandainya mereka
mengunjungi Lia lagi? Aku utarakan keberatanku kepada Suamiku. Feelingku nggak
enak.
Suamiku meluruhkan hatiku dengan mengatakan,”She’s going to be sad. I won’t let
her down. Let her happy in her own way. Please!”
Kulepas kepergian suamiku dengan hati yang gelisah. Hanya dua hari, begitu
katanya.
*****
Suamiku tiba kembali di rumah, di waktu malam yang gerimis. Tergesa-gesa Ia
masuk ke dalam rumah.
“Kita perlu bicara.” Seraya digandengnya tanganku menuju ke ruang keluarga.
“Ada apa Ayah?” Tanyaku cemas.
“Besok, Ibu mengundang kita untuk makan malam di rumah. Bagaimana? Kau bisa?”
Tanya suamiku.
“Insya Allah. Tapi, ada acara apa?” Tanyaku kembali.
“Itulah yang ingin aku bicarakan.” Ucap Suamiku seraya menghela nafas. Ia
terdiam cukup lama.
Akupun terdiam menanti-nanti apa yang hendak dibicarakannya.
“Kemarin, Aku dan Ibu mengunjungi Lia dan keluarganya.” Suamiku lirih berkata.
Sudah ku duga. Jawab batin ku. Dan…jantungku berdetak kian tak menentu.
“Aku dan Ibu datang untuk melamar Lia menjadi istriku.” Lanjutnya lagi.
Dar!!! Kata-kata Suamiku bagai halilintar yang menyambarku. Aku tak sanggup
berkata apa-apa. Baru tiga bulan yang lalu, ditempat yang sama, Ia meyakinkanku
akan janjinya untuk selamanya setia. Tetapi sekarang? Aku benar-benar tidak
siap dengan semua ini. Kurasakan darah yang mengalir deras hanya ke kepala.
Jantungku terasa sakit bagai ditusuk belati.
Tak kuasa menahan rasa sakit, ku tinggalkan Suamiku dan berlari menuju kamar.
Kuhempaskan tubuhku di tempat tidur dan menangis pilu. Rasanya aku ingin mati
saja. Ya Allah, kuatkan hati hamba. Apa yang terjadi ya Allah? Aku terus
beristighfar dan memohon kekuatan dari-Nya. Feelingku benar.
Ketakutan-ketakutanku menjadi kenyataan. Lalu apa arti ucapannya bahwa aku
adalah satu-satunya wanita yang ia inginkan? Bahwa tidak ada seorangpun dapat
menggantikan aku di hatinya? Ya Allah, tolonglah hamba.
Ku lihat suamiku terduduk di tepi ranjang. Diraihnya tanganku dan diusapnya
lembut.
“Maafkan aku. Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Kau tetap cintaku dan
selamanya akan menjadi satu-satunya wanita yang aku cintai. Ini semua di luar
kehendakku. Lia sakit parah. She’s dying. Ia hanya memiliki sisa waktu 2 tahun
untuk hidup. Aku tidak bisa menolak permintaan Ibu.
Ia mengatakan tidak akan pernah meminta apa-apa lagi seumur hidupnya, Ia hanya
minta Aku menikahi Lia. Sebenarnya aku tidak menginginkannya. Tapi, aku tidak
punya pilihan. Aku harap engkau mengerti. Aku tahu ini berat, tidak hanya
bagimu, bagiku juga. Melukaimu sama saja melukai diriku sendiri.” Ucap Suamiku
dengan airmata yang telah membasahi pipinya.
Ingin rasanya ku tuntut janjinya dahulu. Janji setia selamanya. Till death do
us a part. Hatiku sakit, tapi aku juga kasihan melihatnya. Belum pernah aku melihatnya
menangis seperti ini.
“Why you didn’t tell me about this before you leave?”
“I can’t. I don’t want to hurt you.”
“But, you are hurting me now.”
“I’m really sorry. You know I have no choice.”
Kami terdiam cukup lama. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Akhirnya suamiku
memecah keheningan. Dibawanya aku dalam pelukannya.
“I beg your forgiveness. I wish I don’t have to do that. One thing for sure,
she might have my body, but she won’t’ have my love and my soul, cause it’s
belong to you. I love you with all my heart. Marrying you was the best decision
I ever made. No one will replace you in my heart. I just do my job right now.”
I’m still hurting inside. You and that woman? Ukh…
“Kapan Ayah akan menikah lagi?” tanyaku parau.
“Dua minggu lagi.”
Ya Tuhan, di saat aku optimis rumah tanggaku baik-baik saja. Ibu, yang
belakangan begitu baik padaku, ternyata ada udang di balik batu. Tidaaak!!!
Jerit batinku.
*****
Sesudah itu, aku merasakan kehidupan pernikahan yang garing. Merasakan kemelut
batin, yang belum juga usai. Antara ingin mempertahankan atau melepas.
Mempertahankan? Sanggupkah aku melihatnya dengan wanita lain? Melepas?
Bagaimana anak-anak? Akupun masih sangat mencintai Suamiku. Dan Iapun terlihat
sangat sedih dan tertekan. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?
Akupun menghitung hari. Antara siap dan tidak siap. Aku memang pernah
menyuruhnya menikah lagi dengan wanita lain yang direstui ibunya. Tapi itu
dulu, ketika aku dalam keputusasaan karena belum dapat memberi keturunan.
Sekarang, ketika semua baik-baik saja, rasanya aku tidak ingin. Salahkah? Tapi,
inilah takdir yang harus aku jalani. Suamiku berjodoh dengan wanita lain.
Berita rencana pernikahan kedua Suamiku menyebar demikian cepat. Keluarga dan
sahabat-sahabatku menganggap aku sudah gila karena aku merestui pernikahan
Suamiku. Kendati sudah kuceritakan asbab Suamiku menikahi wanita tersebut,
mereka tetap menganggapku tidak waras.
*****
Entah apa yang ada di benak Ibu mertuaku, Ia memintaku membantunya
mempersiapkan segala hal. Kartu undangan, bawa-bawaan, catering, dll. Ya Allah,
kenapa ia menyiksaku seperti ini? Tidak cukupkah dengan merebut Mas Irwan
dariku? Demi baktiku padamu Ibu dan rasa hormatku, kutepiskan segala kepedihan
ini, aku akan lakukan apa yang kau kehendaki.
Hasil dari musyawarah keluarga, mereka akan menikah di rumah Ibu mertuaku.
Pertimbangannya, seluruh sanak family dari kedua belah pihak banyak yang sudah
tinggal di Jakarta. Selain itu, Lia memang akan langsung tinggal dengan Ibu
setelah menikah. Menempati kamar yang pernah aku tempati bersama Suamiku.
*****
Tibalah di hari yang tidak pernah aku harapkan kedatangannya. Pagi ini, Suamiku
akan melangsungkan akad nikah dengan wanita pilihan Ibunya. Segalanya telah
dipersiapkan. Kedua wanita yang mencintai Suamiku-Ibu Mertuaku dan Lia-,
meminta agar akulah yang menyiapkan kamar pengantin. Kata mereka akulah yang
paling tahu selera Suamiku.
Mereka benar-benar ingin membuatku menderita. Ibu mertuakupun meminta aku
memakai pakaian dan perhiasan yang pernah dibelikannya dahulu. Ternyata…Ibu
telah merencanakan semuanya sejak lama.
Satu persatu sanak famili datang. Ku lihat mereka memandangku dengan perasaan
iba. Akh, seandainya boleh memilih, aku tidak ingin berada di tempat ini, saat
ini. Aku tidak ingin ditatap dengan pandangan penuh kasihan seperti itu. Tapi,
keluarga besar Lia dan Ibu memintaku. Mereka ingin semua orang tahu bahwa aku
merestui pernikahan Suamiku.
Pukul 08.30, sanak family telah berkumpul di ruang tamu, di area yang dijadikan
tempat melangsungkan akad nikah. Sebuah meja pendek diletakkan di tengah
ruangan. Ku lihat Suamiku berjalan gugup menuju meja tersebut. God, he looked
good.
Tapi juga sangat kurus. Akh…beberapa hari ini, aku memang tidak terlalu
memperhatikannya. Aku sibuk dengan diriku sendiri. Aku yang berada di ruang
atas, melihatnya mengedarkan pandangan kesekeliling. Akukah yang dicarinya?
Aku merasa sendiri di tengah keramaian. Hatiku makin perih. Pukul 09.00 tepat,
Ijab Kabul akan dilaksanakan. Waktu…berhentilah, ku mohon. Jangan berputar
lagi. Jangan ambil Suamiku dariku.
My God, it’s completely hard. After this ceremony over, my life will never be
the same again. Oh God, Please help…I think, I can’t live my life happily
knowing my dear husband with someone else. I am hurting so deeply.
Teng! Teng! Teng! Jam di ruang tamu berdentang 9 kali. Tanda Ijab Kabul akan
segera dimulai. God, I want to die. Tidak sanggup menahan rasa, akupun
bersembunyi. Aku tidak ingin melihat apa-apa, aku tidak ingin mendengar
apa-apa. Wahai malaikat-malaikat, bawalah aku terbang menjauh dari tempat ini.
Aku tidak kuat…
Aku tidak tahu, berapa lama aku berada dalam kondisi antara sadar dan tidak
sadar. Tiba-tiba aku mendengar suara gaduh di bawah sana. Ku coba melihat apa
yang terjadi.
Seorang laki-laki berpakaian rapi dengan kalung melati yang masih melingkar di
lehernya, sedang digotong. Apa yang terjadi? Akupun berlari ke bawah.
Ku dengar Ibu mertuku berteriak memanggil-manggil nama Suamiku. Kulihat semua
orang panik. Kucari-cari Suamiku, ternyata Ia telah dilarikan ke Rumah Sakit.
Tanpa pikir panjang akupun menyusulnya.
*****
Setelah ditangani tim medis beberapa jam, aku diberi kesempatan menjenguknya.
Ku lihat Ia terbaring lemah dengan baju rumah sakit yang kini membungkusnya.
Aku berdiri di tepi ranjang. Ku kecup lembut keningnya. Ia membuka matanya
perlahan. Akh, aku melihat pancaran cinta dan kerinduan di matanya. Kugenggam
erat tangannya.
Ibupun masuk ke dalam ruangan. Ia memintaku keluar. Tetapi, Suamiku menahan
tanganku. Dipandangi Ibunya seraya menggelengkan kepala. Akupun urung beranjak
pergi.
Kami bertiga berada dalam keheningan, terdiam cukup lama. Aku tidak tahu apa
yang harus aku katakan atau bicarakan. Ibu tidak berhenti menangis di sisi
Suamiku. Tiba-tiba Suamiku memberi isyarat agar aku mendekat.
“Don’t leave me alone. I don’t have much time.” Ucapnya lirih, hampir tak
terdengar.
“Don’t say that. I still need you. The kid needs you.” Bisikku di telinganya.
“I ever promised you. Till death do us a part, didn’t I? And I’ll keep my
promise.”
Setelah mengatakan itu, Suamiku tertidur… selamanya…Dunia terasa gelap, aku
menangis. Ibu mertuaku menjerit-jerit histeris kemudian tak sadarkan diri.
*****
Rumah Ibu yang telah dipasangi tenda dengan kursi-kursi yang berjajar rapi,
sedianya untuk menyambut para tamu yang akan memberi restu pernikahan Suamiku.
Harusnya mereka datang dengan wajah gembira, kini mereka datang dengan wajah
duka. Pelaminan dan segala bentuk dekorasi yang menandakan ada pesta pernikahan
telah dirapikan.
Lia menghampiriku. Rias wajahnya sudah tidak jelas, terhapus oleh airmata. Baju
pengantin yang dia kenakan juga sudah berantakan. “Mba, maafkan saya. Maafkan
kesalahan saya.” Ucapnya lirih.
Aku pernah membencinya. Tapi sekarang tidak lagi. Dia mungkin lebih menderita
kini. Setiap orang memandangnya dengan pandangan seolah-olah dialah penyebab
kematian Suamiku. Aku diam saja, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Dan Iapun
berlalu.
Aku beranjak ke kamar tidur Ibu, ingin melihat kondisinya. Kulihat Ibu
terbaring lemah. Kuhampiri beliau, dan duduk di sisinya. Ku usap lembut
tangannya, sesuatu yang ingin kulakukan sejak lama.
“Ratna, maafkan Ibu. Seandainya Ibu tahu akan jadi seperti ini…Ibu tidak akan
melakukannya. Maaafkan Ibu atas semua penderitaanmu.”
“Sudahlah Ibu, tidak ada yang perlu dimaafkan, ini semua takdir yang Maha
Kuasa.” Jawabku berusaha bijak.
“Ah, seandainya Ibu tidak egois seperti itu, mungkin Irwan tidak pergi dalam
kesedihan. Ibu menyesal. Dia sangat mencintaimu, Ratna. Ibu memaksanya. Ibu
memaksanya…Ibu…”
“Ssst…sudah Bu, tidak usah diteruskan. Saya mengerti. Sekarang Ibu istirahat
saja.”
Kami berdua berpelukan, berbagi kesedihan dan juga kekuatan. Kehilangan orang
yang sama-sama kami cintai telah menyatukan hati kami.
*****
Kupikir, melihatmu menikahi wanita lain akan menjadi penderitaan terbesar dalam
hidupku. Ternyata kepergianmu untuk selamanya lebih menyakitkanku. Aku masih
membutuhkanmu, anak-anak masih membutuhkanmu. Aku tidak berhenti memikirkanmu.
I want you back. I miss you so much.
Kudatangi pusaramu yang basah oleh hujan tadi malam. Ku lihat Ibu duduk
bersimpuh di samping nisanmu. Seandainya kau bisa melihat, kau akan bahagia.
Ibu sekarang berubah, Ia sangat mencintaiku kini. I promise you, I’ll take care
of her. I’ll try to make her happy like you always did. You don’t have to be
worry.
Now, I come here to vow, I’ll faithful to you, I will always love you and only
you as long I life, and I meant it. No one will replace you.
Kutatap Ibu yang semakin ringkih. Semua telah terjadi, tidak ada yang perlu
disesali. Terkadang kita harus kehilangan sesuatu yang sangat berharga untuk
dapat menghargai apa yang ada. Dan kepedihan yang kurasakan terasa begitu agung
mengetahui kesetianmu terjaga, Till death do us a part.
SUMBER : ummuali.wordpress.com/wanita-wanita-yang-mencintai-suamiku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar